Mendaki gunung itu positif luar biasa. Di samping menyingkap misteri alam, pendakian bertujuan mengukir khidmat yang dalam. Melatih insan untuk berendah diri di hadapan Sang Pencipta.
Kebugaran jasmani dan rohani jadi bekal utama pendakian. Untuk memperkecil resiko cedera dan celaka, penggiat hiking butuh persiapan matang baik individual maupun kolektif. Mencakup fisik, mental, dan material (peralatan, perlengkapan, dan perbekalan). Persiapan administrasi (perijinan) kerap diperlukan di wilayah cagar alam atau taman nasional.
Burangrang dan Sekitarnya
Kali ini, Burangrang jadi target kami. Gunung ini cocok untuk pemula karena jalur tempuhnya mudah, syarat peralatannya minim, dan waktu tempuhnya singkat. Minggu, tanggal 8 April 2012, pukul 11:00 WIB kami berlima (Edo, Rizki, Eko, Putra, dan Tobias) tiba di gerbang Markas Koramil, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, setelah sejam berkendara dari wilayah Bandung selatan. Dari gerbang ini, ojek motor mengantar kami ke pos awal pendakian. Ongkosnya 10 ribu rupiah per orang. Jalanan menembus pemukiman dan perkebunan warga. Setelah 12 menit, tibalah kami di pos itu.
Ke Pos Awal
Pos awal ini terletak di tengah perkampungan, tepat di selatan Burangrang. Satu kedai kecil berdiri di seberang jalan masuknya. Kami ambil jeda beberapa menit untuk pelemasan otot-otot bahu, punggung, dan pinggang. Setelah itu, 'amunisi' dalam ransel kami periksa ulang. Perlengkapan standar meliputi senter, GPS, baterai cadangan, korek api, pisau lipat, baju ganti, dan ponco. Sebagai perbekalan, kami siapkan obat-obatan, roti, dan softdrink.
Pos Awal
Pendakian berawal dari ketinggian 1241 mdpl. Kami susuri savana yang menghampar di atas bukit kecil. Dengan medan landai, hiking jadi santai. Jauh di hadapannya, Burangrang nan hijau bersemayam di balik kabut.
Udara dingin menelusup ke celah pepohonan. Seiring peluh membercaki baju, bulir hujan pun jatuh bergiliran. Setelah 17 menit melintasi savana dan pepohonan, keindahan Burangrang kian tersibak. Sembari melepas lelah, kami nikmati bentangan utara Parongpong. Guratan ladang penduduk memberi aksen yang khas. Keelokannya melenakan meski langit sedang muram.
Kaki Gunung Burangrang
Satu jalan setapak menyusupkan kami ke relung hutan. Tanaman paku liar subur di sela pepohonan. Di sinilah tanjakan terjal menghadang. Untungnya, jalur berunggak-unggak itu dipertegas oleh pijakan para pendaki. Taburan sampah alami jadi dekorasinya. Tingginya curah hujan serta kelembaban di sekitarnya mengawetkan kondisi licin.
Relung Hutan Burangrang
Sepanjang pendakian, keringat meleleh di pelipis. Rintik hujan terhalang dedaunan. Pijakan demi pijakan dilewati dengan ekstra hati-hati. Pendaki bisa berpegang pada cuatan batang atau akar di sisi jalur, sembari waspada terhadap duri ataupun serangga liar di sana. Kami menepi ke area yang lebih rimbun saat melewati cekungan. Kami pun sesekali bergerilya di dalam jalur berbentuk parit.
Hampir setengah jam berlalu. Ada satu area sempit untuk beristirahat. Langkah kami pun sekejap melambat. Di sini kami berjumpa dengan dua orang penduduk lokal bersepatu bot. Beberapa batang kayu gelondongan diseret lalu diluncurkan lewat parit tadi. Jalur pendakian memang sengaja dikeruk untuk aktifitas ini.
Tak lama mendaki, kami berpapasan dengan warga. “Sakedap deui, kang!”, katanya sambil mengacung telunjuknya ke arah puncak. Kami semakin antusias. Jalur licin berundak-undak terjal memaksa kami merangkak berulangkali. Ritme pernapasan naik mengiringi adrenalin.
Jalur Licin
Hampir setengah jam berlalu. Ada satu area sempit untuk beristirahat. Langkah kami pun sekejap melambat. Di sini kami berjumpa dengan dua orang penduduk lokal bersepatu bot. Beberapa batang kayu gelondongan diseret lalu diluncurkan lewat parit tadi. Jalur pendakian memang sengaja dikeruk untuk aktifitas ini.
Prasarana Kayu Gelondongan
Tak lama mendaki, kami berpapasan dengan warga. “Sakedap deui, kang!”, katanya sambil mengacung telunjuknya ke arah puncak. Kami semakin antusias. Jalur licin berundak-undak terjal memaksa kami merangkak berulangkali. Ritme pernapasan naik mengiringi adrenalin.
Menikmati Pendakian
Setelah merangsak masuk pepohonan dan memerangi kebekuan, pukul 13:50 WIB kami tiba di summit. Puncak ini menjulang di ketinggian 2064 mdpl dengan sebuah tugu tua di atasnya. Sekelompok pendaki lebih dulu sampai dan berkumpul di tendanya. Mereka naik saat pagi dan berencana turun petang nanti. Salam rimba untuk semua. Rasa lelah sirna saat bersantai dan memandangi atraksi kabut. Mata ingin bermanja-manja dengan pesonanya.
Di Puncak Burangrang
Sebuah monumen tua berdiri tegak di puncak Burangrang. Di masa lalu, jawatan topografi memetakan wilayah dengan tugu ini sebagai benchmark Triangulasi. Terukir “P220 2064”, nama titik beserta ketinggiannya. Banyak yang tidak menyadari aspek historis ini, hingga sampai hati menodainya.
Tugu Triangulasi Burangrang
Waktu bergulir cepat, kami bergegas turun. Jalur turun melintang ke sisi timur. Meski relatif landai, jalur itu lebih jauh dibandingkan jalur pendakian. Pukul 14:37 WIB, kami menyelinap ke semak-semak dan memasuki jalur turun.
Kabut tebal bergumul dan menyisip pepohonan. Suhu saat itu berkisar 12-14o C. Setelah enam menit berjalan, turunan tebing curam yang licin menahan langkah kami. Syukurlah, di satu sisinya ada seutas tali terikat erat di batang pohon. Nampaknya cukup kuat menahan beban kami satu persatu. Pijakan-pijakannya aman bila dilewati perlahan. Untuk berjaga-jaga, Rizki menyiapkan tali webbing.
Ekstra Hati-hati
Kombinasi tanjakan dan turunan jalur ini lebih bervariasi. Setelah 740 m perjalanan dari puncak Burangrang, kami melintasi Puncak Meong di ketinggian 2042 mdpl.
Melihat ke bawah membuat saya sedikit gentar. Langkah kaki diatur lebih lambat ketika menyusuri turunan licin. Tonjolan batang atau akar pohon bisa sangat berguna. Kami sedapat mungkin berpijak di tanah gembur atau bertekstur kasar. Terseok jauh lebih baik daripada terpeleset.
Selang beberapa menit, celah pepohonan merenggang. Namun, kabut tetap mengisi ruang yang tersisa. Pemandangan di segala penjuru jalur masih terlihat samar.
Jam di tangan menampilkan angka 16:02. Selepas jalur turun, kami menjelajah hutan pinus. Aroma segarnya merebak tajam. Di tapal batas hutan, padang rumput menanti disambangi. Pos Lapor Kopassus dibangun di gerbang masuknya. Petugas yang tengah berjaga saat itu sempat menyapa. Kemudian, langkah kami ringan mengayun di sepanjang jalan kerikil. Air hujan mengalir bergemericik.
Tak lama, kami merapat ke sebuah kedai kecil. Di tempat ini kami lumat panganan yang tersaji, namun tubuh masih terus bergidik. Setelah 10 menit, kami abadikan momen itu, sesaat sebelum baterai cadangan handphone habis.
Selanjutnya, kami menelusur masuk ke pemukiman Situ Lembang. Air jernih terpancur dari sebuah kolam. Dinginnya sungguh mengejutkan. Sambil gemetaran, kami basuh muka, baju, celana, dan sepatu. Setelah 15 menit berjalan, sampailah kami di tikungan jalan raya. Tempat inilah yang dinamai Gerbang Komando. Di depannya, sebuah shelter bercat kuning, dengan interior sebuah bangku panjang.
Kumandang azan Maghrib sudah dekat, angkutan kota mulai jarang melintas. Kami putuskan untuk berjalan ke terminal “bayangan” di mana angkot bisa dicarter seharga 30 ribu rupiah untuk turun di terminal berikutnya. Dari terminal akhir ini, angkot meluncur ke Terminal Ledeng. Pukul 19:25 WIB, kami tiba di keramaian Bandung. Kenangan pendakian terbungkus rapi, untuk dibuka kemudian.
Jalur Pulang
Jam di tangan menampilkan angka 16:02. Selepas jalur turun, kami menjelajah hutan pinus. Aroma segarnya merebak tajam. Di tapal batas hutan, padang rumput menanti disambangi. Pos Lapor Kopassus dibangun di gerbang masuknya. Petugas yang tengah berjaga saat itu sempat menyapa. Kemudian, langkah kami ringan mengayun di sepanjang jalan kerikil. Air hujan mengalir bergemericik.
Tak lama, kami merapat ke sebuah kedai kecil. Di tempat ini kami lumat panganan yang tersaji, namun tubuh masih terus bergidik. Setelah 10 menit, kami abadikan momen itu, sesaat sebelum baterai cadangan handphone habis.
Tiba di Lembang
Selanjutnya, kami menelusur masuk ke pemukiman Situ Lembang. Air jernih terpancur dari sebuah kolam. Dinginnya sungguh mengejutkan. Sambil gemetaran, kami basuh muka, baju, celana, dan sepatu. Setelah 15 menit berjalan, sampailah kami di tikungan jalan raya. Tempat inilah yang dinamai Gerbang Komando. Di depannya, sebuah shelter bercat kuning, dengan interior sebuah bangku panjang.
Kumandang azan Maghrib sudah dekat, angkutan kota mulai jarang melintas. Kami putuskan untuk berjalan ke terminal “bayangan” di mana angkot bisa dicarter seharga 30 ribu rupiah untuk turun di terminal berikutnya. Dari terminal akhir ini, angkot meluncur ke Terminal Ledeng. Pukul 19:25 WIB, kami tiba di keramaian Bandung. Kenangan pendakian terbungkus rapi, untuk dibuka kemudian.
Salam Rimba, Burangrang
No comments:
Post a Comment