Di barat daya Garut, bersemayamlah Gunung
Papandayan. Jalur daki gunung ini masih ramai
disambangi meski kerap diguncang gempa tremor
berskala kecil. Pada bulan Mei 2013, semburan awan panasnya membuat warga cemas. Status siaga pun berlaku. Namun, tetap saja kompleks gunung aktif ini jadi magnet penikmat wisata alam karena panoramanya. Pendakian kali
ini bakal seru. Saya dan sahabat menyambar jaket tebal beserta carrier seisinya, lalu melenggang ke Garut.
Papandayan, Cikurai, dan Guntur
Tanggal 6 September 2013, pukul 2030 WIB, bus AC Diana Prima mengangkut kami dari Pasar Rebo. Tujuan: Terminal Guntur, Garut. Tiketnya dipatok 42
ribu rupiah per orang. Pukul 2 dini hari, bis masuk ke terminal kota domba ini. Di tengah keremangan, kami mampir ke kedai seberang. Sebatang rokok dinyalakan, menghempas kegalauan. Tak lama, kami melongok keluar dan mengamati mobil colt bercat putih. Bangku-bangkunya sudah disesaki oleh sekelompok pendaki. Tujuan mereka dipastikan sama. Salam rimba untuk semua. Zaki, Maia, dan
Halida datang dari Kota Hujan. Dari Kota Tahu, Danang bersama Beni menyusul. Dan
Ridwan dari Kota Kembang menyambut ajakan kawan-kawannya itu. Kami beruntung
bisa bergabung. Sang supir segera tancap gas ke destinasinya: Desa Cisurupan.
Pukul 0240 WIB, kami turun di sebuah pertigaan, lalu bertandang ke warung kopi. Barisan mobil pick up
berjajar di depannya. Oleh penduduk setempat, mobil bak yang biasa mengangkut sayuran itu dialihfungsikan untuk mengangkut rombongan pendaki. Tujuan utamanya ke Camp David, muster point bagi pendaki Papandayan, dengan harga sewa 200 ribu rupiah sekali jalan. Kami langsung merogoh kocek, masing-masing 25 ribu rupiah.
Warung Desa Cisurupan
Puntung rokok padam dan kopi diseruput habis. Dalam beberapa saat, mobil bak terbuka itu memuat kami berdesakan. Ketika meluncur ke tujuan, jaket dan baju berlapis jadi tameng dari terpaan angin. Trip ini membelah desa Cisurupan dan perkebunan penduduk. Jauh di atasnya, langit gulita ditaburi bintang gemerlapan. Kemilaunya menghipnotis di tengah kedinginan. Jalanan berbatu menggoyang mobil ini hingga sempoyongan. Kami saling berdekapan, semakin erat.
Pukul 0315 WIB, tibalah kami di suatu pelataran luas dengan barisan kedai di sisi utaranya. Inilah Camp David. Sambil terus menggigil,
kami turunkan semua bawaan. Headlamp dan
senter disorotkan. Supirnya mengantar kami ke pos registrasi di sudut kamp. Di sini setiap pendaki diwajibkan
mengisi buku tamu. Sahabat saya, Lion, ditunjuk jadi pemimpin tim. Sesuai namanya. Alih-alih
mendaki di pagi buta, kami putuskan untuk melepas kantuk di sebuah pondok. Dalam
dingin yang membekukan, sebagian tidur cukup berbalut sleeping bag di kursi panjang. Sebagian lagi menggelar
matras terlebih dahulu. Mobil rombongan yang
baru datang menderu di kejauhan. Tak lama, tempat ini jadi ramai.
Pos Registrasi Camp David
Rombongan Pendaki
Pemanasan sebelum Pendakian
Setelah puas berekspresi, kami awali
momen ini dengan khidmatnya doa. Semoga Sang Khalik selalu menaungi kami
di atas sana. Pintu pendakian dijaga seorang penjual aneka syal dan tutup kepala.
Kami mengucap salam, lalu masuk ke jalan landai berbatu. Di depan, pesona kawah Papandayan terhampar makin jelas. Kami selingi hiking ringan ini dengan canda tawa. Lewat kamera saku, saya kerap abadikan pesona alam di sekeliling jalan. Seseorang pendaki lokal memacu motor trail dan menggilas jalur berbatu ini.
Di sebelah kiri, air jernih mengisi relung bebatuan. Bau gas belerang kian menyumbat hidung. Ladang sulfur aktif menyemburkan uap panasnya. Kelelahan mulai terasa saat menapaki jalur menanjak. Nuansa gersang dan tandus makin kentara dalam semburat mentari. Napas tersengal dan lutut pegal menambah semarak pendakian.
Di sebelah kiri, air jernih mengisi relung bebatuan. Bau gas belerang kian menyumbat hidung. Ladang sulfur aktif menyemburkan uap panasnya. Kelelahan mulai terasa saat menapaki jalur menanjak. Nuansa gersang dan tandus makin kentara dalam semburat mentari. Napas tersengal dan lutut pegal menambah semarak pendakian.
Jalur Bebatuan
Sejam berlalu sudah. Jalur lurus tadi menjelma jadi tepian berkelok. Saya
sempat terpisah dari tim karena menyusur jalur lurus di bukit. Namun,
siulannya menggiring saya kembali ke jalur yang benar. Jalur ini dirintis di tepian bukit. Kompleks perbukitan berselimut semak-semak, bergumul seperti bulu domba warna hijau.
Pinggiran Bukit yang Berkelok
Lima belas menit setelahnya, jalur ini memotong sungai
kecil yang dialiri air jernih layak minum. Dari situ kami menelusup ke jalur tanjakan yang dilingkupi vegetasi lebat. Setengah jam berlalu. Di atas ketinggian tersibaklah wajah perbukitan dan jalur yang tadi dilalui.
Jalur baru dirintis menikung bagian bukit yang longsor secara
alami. Bekasnya serupa pahatan alamiah yang menawan.
Jalur Hijau
Bekas Longsoran Alami
Tegur sapa sesama pecinta alam maknai pendakian. Di dinding
jalur tertambat tiga pipa warna biru untuk memasok air
ke atas gunung. Bayangan semak jadi tempat persembunyian saya. Air yang berasal dari sungai tadi mengucur ke tenggorokan. Saya lepaskan letih sembari mencumbu pesona alam yang membentang.
Pendakian Cadas
Jalur pendakian lalu menerus ke satu cerobong angin di mana lapisan batuan tersingkap di kedua tebingnya. Jalan setapak menyusupkan lagi pendaki masuk ke pepohonan. Akhirnya pukul 0920 WIB, kami jumpai plang kecil berwarna kuning terpasak di pohon kecil. Tercetak tulisan “Selamat Datang Di PONDOK SALADA”. Dataran seluas 7 ha ini jadi tempat favorit untuk berkemah. Para pendaki lain sudah lebih dulu sampai dan
menancapkan tendanya. Sementara kami masih sibuk berfoto ria.
Cerobong Angin
Selamat Datang di Pondok Salada
Di antara pangkal pohon, kami menghuni area yang relatif datar. Teman-teman saling bantu merakit tenda. Para tetangga bersahutan. Begitu ceria menyambut momen ini. Pukul 1400 WIB, kabut perlahan
naik dan menyelimuti pinggiran gunung termasuk Pondok Salada. Maia dan Halida tengah sibuk menyiapkan
hidangan meski suhu udara turun jadi sekitar 15° C. Para pria bergegas
menuju kali untuk mengambil air. Sejam kemudian, kami bersantap mi goreng dan
sayur sop yang dimodifikasi. Setelah selesai, kami cuci perangkat makan di
tempat tadi.
Aman dan Nyaman
Selamat Makan
Selimut Kabut
Kayu bakar dicari di pelosok pepohonan. Namun, hanya sekumpulan ranting kecil yang berhasil dibabat. Waktu cepat bergulir. Seantero
kawasan ini tunduk pada malam yang teramat dingin. Kami tak kuasa
berlama-lama di luar setelah api padam. Di dalam tenda, kami dihibur oleh riuh canda dan nyanyian para tetangga. Tak lama, rasa kantuk menyergap dan kami tidur pulas dalam balutan sleeping
bag dan hangatnya tenda.
Fajar menyingsing, kami bersiap lanjutkan pendakian. Semua perlengkapan kami telah ter-packing rapi di dalam
tenda untuk sementara ditinggalkan. Pukul 0645 WIB, kami susuri jalur
pendakian di kaki gunung. Nampak semak Edelweis (Anaphalis Javanica) mengiring di pinggiran tebing. Bongkahan-bongkahan batu kami panjat perlahan. Maia dan
Zaki jauh sudah di atas. Sejam kemudian, kaki kami berpijak di sebuah lembah
datar yang dipadati bunga abadi itu.
Singgasana Edelweis
Setelah sesi pemotretan, saya bersama Ridwan dan Beni bisa mempercepat ritme di sepanjang jalur rintisan. Namun, Lion, Halida, dan Danang sepertinya lewat jalur lain.
Pukul 0820 WIB, kami bertiga menapaki area yang kami kira puncak. Berlokasi
di 07° 19’ 19.8” LS; 107° 43’ 26.6” BT dengan ketinggian 2565 mdpl. Sayangnya, area ini
bukanlah puncak gunung yang dimaksud. Menyebalkan.
(di Sekitar) Puncak Papandayan
Kami sempat menanti mereka bergabung,
namun sepertinya mereka telah sampai di puncak yang sebenarnya. Nama Danang, Halida,
dan Lion kami teriakan, kontan terjawab “bukan!”. Ketika memutuskan untuk turun, adrenalin kami langsung anjlok. Pupus sudah selebrasi bersama di atas puncak. Pukul 0918
WIB kami bertiga berjalan gontai ke Pondok Salada.
Danang, Halida, Lion, di Manakah Kalian?
Dua puluh menit berlalu. Nampak di kejauhan, Halida dan lainnya melangkah sumringah sekali. Saya mesti rela menelan candaan mereka, sebab terlewatkannya jalur Tegal Alun dan kawasan hutan mati yang melegenda itu. Setelah
menyantap mi rebus, pukul 1130 WIB, bergegaslah kami untuk pulang. Masing-masing mengeratkan tas carrier berisi kenangan manis. Sisa-sisa pesta kecil di tempat ini disulap jadi tumpukan abu.
Lima belas menit kemudian, kami lambaikan tangan ke Pondok Salada.
Bersiap Pulang
Jalur pulang hanya berlawanan arah dengan jalur pendakian. Saat
itu waktunya kabut naik. Bentangan alam bak putri cantik yang tengah bersolek. Kawasan belerang aktif kembali kami susuri.
Asapnya berkelana di antara urat-urat perbukitan.
Kabut Iringi Kepulangan Pendaki
Pukul 1313 WIB, kami menginjak Camp David. Areal ini sudah kembali padat. Rombongan pendaki akan turun ke kota. Mobil-mobil pick up berjajar di pintu masuk, lengkap dengan supirnya. Bersama empat pendaki lain, kami mencarter satu mobil ke Cisurupan. Di sinilah kami mengakhiri catatan kecil ini dan menyambung pertemanan baru. Salam rindu untukmu, Papandayan.