Monday, 16 September 2013

Papandayan

Di barat daya Garut, bersemayamlah Gunung Papandayan. Jalur daki gunung ini masih ramai disambangi meski kerap diguncang gempa tremor berskala kecil. Pada bulan Mei 2013, semburan awan panasnya membuat warga cemas. Status siaga pun berlaku. Namun, tetap saja kompleks gunung aktif ini jadi magnet penikmat wisata alam karena panoramanya. Pendakian kali ini bakal seru. Saya dan sahabat menyambar jaket tebal beserta carrier seisinya, lalu melenggang ke Garut.

Papandayan, Cikurai, dan Guntur

Tanggal 6 September 2013, pukul 2030 WIB, bus AC Diana Prima mengangkut kami dari Pasar Rebo. Tujuan: Terminal Guntur, Garut. Tiketnya dipatok 42 ribu rupiah per orang. Pukul 2 dini hari, bis masuk ke terminal kota domba ini. Di tengah keremangan, kami mampir ke kedai seberang. Sebatang rokok dinyalakan, menghempas kegalauan. Tak lama, kami melongok keluar dan mengamati mobil colt bercat putih. Bangku-bangkunya sudah disesaki oleh sekelompok pendaki. Tujuan mereka dipastikan sama. Salam rimba untuk semua. Zaki, Maia, dan Halida datang dari Kota Hujan. Dari Kota Tahu, Danang bersama Beni menyusul. Dan Ridwan dari Kota Kembang menyambut ajakan kawan-kawannya itu. Kami beruntung bisa bergabung. Sang supir segera tancap gas ke destinasinya: Desa Cisurupan.

Pukul 0240 WIB, kami turun di sebuah pertigaan, lalu bertandang ke warung kopi. Barisan mobil pick up berjajar di depannya. Oleh penduduk setempat, mobil bak yang biasa mengangkut sayuran itu dialihfungsikan untuk mengangkut rombongan pendaki. Tujuan utamanya ke Camp David, muster point bagi pendaki Papandayan, dengan harga sewa 200 ribu rupiah sekali jalan. Kami langsung merogoh kocek, masing-masing 25 ribu rupiah.

Warung Desa Cisurupan

Puntung rokok padam dan kopi diseruput habis. Dalam beberapa saat, mobil bak terbuka itu memuat kami berdesakan. Ketika meluncur ke tujuan, jaket dan baju berlapis jadi tameng dari terpaan angin. Trip ini membelah desa Cisurupan dan perkebunan penduduk. Jauh di atasnya, langit gulita ditaburi bintang gemerlapan. Kemilaunya menghipnotis di tengah kedinginan. Jalanan berbatu menggoyang mobil ini hingga sempoyongan. Kami saling berdekapan, semakin erat.

Pukul 0315 WIB, tibalah kami di suatu pelataran luas dengan barisan kedai di sisi utaranya. Inilah Camp David. Sambil terus menggigil, kami turunkan semua bawaan. Headlamp dan senter disorotkan. Supirnya mengantar kami ke pos registrasi di sudut kamp. Di sini setiap pendaki diwajibkan mengisi buku tamu. Sahabat saya, Lion, ditunjuk jadi pemimpin tim. Sesuai namanya. Alih-alih mendaki di pagi buta, kami putuskan untuk melepas kantuk di sebuah pondok. Dalam dingin yang membekukan, sebagian tidur cukup berbalut sleeping bag di kursi panjang. Sebagian lagi menggelar matras terlebih dahulu. Mobil rombongan yang baru datang menderu di kejauhan. Tak lama, tempat ini jadi ramai.

Pos Registrasi Camp David

Lewat celah perbukitan, cahaya mentari mengintip genit. Kami langsung sigap berkemas. Pagi itu, mi rebus rasanya lezat meski tak berbumbu. Uapnya membumbung tinggi bagai asap dari kawah Papandayan. Mata melirik tajam ke arah selatan. Gunung itu megah nian. Ajang berfoto mustahil terlewatkan. Beberapa tim pendaki lain juga berkumpul dan melakukan ritual serupa. Tenggelam dalam euforia yang mungkin jarang dirasakan.

Rombongan Pendaki


Pemanasan sebelum Pendakian 


Setelah puas berekspresi, kami awali momen ini dengan khidmatnya doa. Semoga Sang Khalik selalu menaungi kami di atas sana. Pintu pendakian dijaga seorang penjual aneka syal dan tutup kepala. Kami mengucap salam, lalu masuk ke jalan landai berbatu. Di depan, pesona kawah Papandayan terhampar makin jelas. Kami selingi hiking ringan ini dengan canda tawa. Lewat kamera saku, saya kerap abadikan pesona alam di sekeliling jalan. Seseorang pendaki lokal memacu motor trail dan menggilas jalur berbatu ini. 

Di sebelah kiri, air jernih mengisi relung bebatuan. Bau gas belerang kian menyumbat hidung. Ladang sulfur aktif menyemburkan uap panasnya. Kelelahan mulai terasa saat menapaki jalur menanjak. Nuansa gersang dan tandus makin kentara dalam semburat mentari. Napas tersengal dan lutut pegal menambah semarak pendakian. 

Jalur Bebatuan


Sejam berlalu sudah. Jalur lurus tadi menjelma jadi tepian berkelok. Saya sempat terpisah dari tim karena menyusur jalur lurus di bukit. Namun, siulannya menggiring saya kembali ke jalur yang benar. Jalur ini dirintis di tepian bukit. Kompleks perbukitan berselimut semak-semak, bergumul seperti bulu domba warna hijau.

Pinggiran Bukit yang Berkelok


Lima belas menit setelahnya, jalur ini memotong sungai kecil yang dialiri air jernih layak minum. Dari situ kami menelusup ke jalur tanjakan yang dilingkupi vegetasi lebat. Setengah jam berlalu. Di atas ketinggian tersibaklah wajah perbukitan dan jalur yang tadi dilalui. Jalur baru dirintis menikung bagian bukit yang longsor secara alami. Bekasnya serupa pahatan alamiah yang menawan.

Jalur Hijau


Bekas Longsoran Alami


Tegur sapa sesama pecinta alam maknai pendakian. Di dinding jalur tertambat tiga pipa warna biru untuk memasok air ke atas gunung. Bayangan semak jadi tempat persembunyian saya. Air yang berasal dari sungai tadi mengucur ke tenggorokan. Saya lepaskan letih sembari mencumbu pesona alam yang membentang.

 Pendakian Cadas


Jalur pendakian lalu menerus ke satu cerobong angin di mana lapisan batuan tersingkap di kedua tebingnya. Jalan setapak menyusupkan lagi pendaki masuk ke pepohonan. Akhirnya pukul 0920 WIB, kami jumpai plang kecil berwarna kuning terpasak di pohon kecil. Tercetak tulisan “Selamat Datang Di PONDOK SALADA”. Dataran seluas 7 ha ini jadi tempat favorit untuk berkemah. Para pendaki lain sudah lebih dulu sampai dan menancapkan tendanya. Sementara kami masih sibuk berfoto ria.

Cerobong Angin

 Selamat Datang di Pondok Salada


Di antara pangkal pohon, kami menghuni area yang relatif datar. Teman-teman saling bantu merakit tenda. Para tetangga bersahutan. Begitu ceria menyambut momen ini. Pukul 1400 WIB, kabut perlahan naik dan menyelimuti pinggiran gunung termasuk Pondok Salada. Maia dan Halida tengah sibuk menyiapkan hidangan meski suhu udara turun jadi sekitar 15° C. Para pria bergegas menuju kali untuk mengambil air. Sejam kemudian, kami bersantap mi goreng dan sayur sop yang dimodifikasi. Setelah selesai, kami cuci perangkat makan di tempat tadi.

 Aman dan Nyaman


 Selamat Makan

 Selimut Kabut

Kayu bakar dicari di pelosok pepohonan. Namun, hanya sekumpulan ranting kecil yang berhasil dibabat. Waktu cepat bergulir. Seantero kawasan ini tunduk pada malam yang teramat dingin. Kami tak kuasa berlama-lama di luar setelah api padam. Di dalam tenda, kami dihibur oleh riuh canda dan nyanyian para tetangga. Tak lama, rasa kantuk menyergap dan kami tidur pulas dalam balutan sleeping bag dan hangatnya tenda.

Fajar menyingsing, kami bersiap lanjutkan pendakian. Semua perlengkapan kami telah ter-packing rapi di dalam tenda untuk sementara ditinggalkan. Pukul 0645 WIB, kami susuri jalur pendakian di kaki gunung. Nampak semak Edelweis (Anaphalis Javanica) mengiring di pinggiran tebing. Bongkahan-bongkahan batu kami panjat perlahan. Maia dan Zaki jauh sudah di atas. Sejam kemudian, kaki kami berpijak di sebuah lembah datar yang dipadati bunga abadi itu.

Singgasana Edelweis


Setelah sesi pemotretan, saya bersama Ridwan dan Beni bisa mempercepat ritme di sepanjang jalur rintisan. Namun, Lion, Halida, dan Danang sepertinya lewat jalur lain. Pukul 0820 WIB, kami bertiga menapaki area yang kami kira puncak. Berlokasi di 07° 19’ 19.8” LS; 107° 43’ 26.6” BT dengan ketinggian 2565 mdpl. Sayangnya, area ini bukanlah puncak gunung yang dimaksud. Menyebalkan. 

(di Sekitar) Puncak Papandayan


Kami sempat menanti mereka bergabung, namun sepertinya mereka telah sampai di puncak yang sebenarnya. Nama Danang, Halida, dan Lion kami teriakan, kontan terjawab “bukan!”. Ketika memutuskan untuk turun, adrenalin kami langsung anjlok. Pupus sudah selebrasi bersama di atas puncak. Pukul 0918 WIB kami bertiga berjalan gontai ke Pondok Salada.

Danang, Halida, Lion, di Manakah Kalian?

Dua puluh menit berlalu. Nampak di kejauhan, Halida dan lainnya melangkah sumringah sekali. Saya mesti rela menelan candaan mereka, sebab terlewatkannya jalur Tegal Alun dan kawasan hutan mati yang melegenda itu. Setelah menyantap mi rebus, pukul 1130 WIB, bergegaslah kami untuk pulang. Masing-masing mengeratkan tas carrier berisi kenangan manis. Sisa-sisa pesta kecil di tempat ini disulap jadi tumpukan abu. Lima belas menit kemudian, kami lambaikan tangan ke Pondok Salada.

Bersiap Pulang

Jalur pulang hanya berlawanan arah dengan jalur pendakian. Saat itu waktunya kabut naik. Bentangan alam bak putri cantik yang tengah bersolek. Kawasan belerang aktif kembali kami susuri. Asapnya berkelana di antara urat-urat perbukitan. 

 Kabut Iringi Kepulangan Pendaki

Pukul 1313 WIB, kami menginjak Camp David. Areal ini sudah kembali padat. Rombongan pendaki akan turun ke kota. Mobil-mobil pick up berjajar di pintu masuk, lengkap dengan supirnya. Bersama empat pendaki lain, kami mencarter satu mobil ke Cisurupan. Di sinilah kami mengakhiri catatan kecil ini dan menyambung pertemanan baru. Salam rindu untukmu, Papandayan.